Wednesday, 10 April 2013

Arti Sebuah Pekerjaan

Seorang eksekutif muda sedang beristirahat siang di sebuah kafe terbuka. Sambil sibuk mengetik di laptopnya, saat itu seorang gadis kecil yang membawa beberapa tangkai bunga menghampirinya.
”Om beli bunga Om.”
”Tidak Dik, saya tidak butuh,” ujar eksekutif muda itu tetap sibuk dengan laptopnya.
”Satu saja Om, kan bunganya bisa untuk kekasih atau istri Om,” rayu si gadis kecil.

Setengah kesal dengan nada tinggi karena merasa terganggu keasikannya si pemuda berkata, ”Adik kecil tidak melihat Om sedang sibuk? Kapan-kapan ya kalo Om butuh Om akan beli bunga dari kamu.”
Mendengar ucapan si pemuda, gadis kecil itu pun kemudian beralih ke orang-orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Setelah menyelesaikan istirahat siangnya,si pemuda segera beranjak dari kafe itu. Saat berjalan keluar ia berjumpa lagi dengan si gadis kecil penjual bunga yang kembali mendekatinya. ”Sudah selesai kerja Om, sekarang beli bunga ini dong Om, murah kok satu tangkai saja.”
Bercampur antara jengkel dan kasihan sipemuda mengeluarkan sejumlah uang dari sakunya. “Ini uang 2000 rupiah buat kamu. Om tidak mau bunganya, anggap saja ini sedekah untuk kamu,” ujar si pemuda sambil mengangsurkan uangnya kepada si gadis kecil.
Uang itu diambilnya, tetapi bukan untuk disimpan, melainkan ia berikan kepada pengemis tua yang kebetulan lewat di sekitar sana. Pemuda itu keheranan dan sedikit tersinggung.
”Kenapa uang tadi tidak kamu ambil, malah kamu berikan kepada pengemis?”
Dengan keluguannya si gadis kecil menjawab,
”Maaf Om, saya sudah berjanji dengan ibu saya bahwa saya harus menjual bunga-bunga ini dan bukan mendapatkan uang dari meminta-minta. Ibu saya selalu berpesan walaupun tidak punya uang kita tidak bolah menjadi pengemis.”

Pemuda itu tertegun, betapa ia mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari seorang anak kecil bahwa kerja adalah sebuah kehormatan, meski hasil tidak seberapa tetapi keringat yang menetes dari hasil kerja keras adalah sebuah kebanggaan. Si pemuda itu pun akhirnya mengeluarkan dompetnya dan membeli semua bunga-bunga itu, bukan karena kasihan, tapi karena semangat kerja dan keyakinan si anak kecil yang memberinya pelajaran berharga hari itu.
Tidak jarang kita menghargai pekerjaan sebatas pada uang atau upah yang diterima. Kerja akan bernilai lebih jika itu menjadi kebanggaan bagi kita. Sekecil apapun peran dalam sebuah pekerjaan, jika kita kerjakan dengan sungguh-sungguh akan memberi nilai kepada manusia itu sendiri. Dengan begitu, setiap tetes keringat yang mengucur akan menjadi sebuah kehormatan yang pantas kita perjuangkan.

Tuesday, 5 March 2013

Why do people cry?



Humans produce tears for a variety of reasons. Some of these have nothing to do with why people cry. If you’re cutting up an onion or suffering from seasonal allergies, your eyes may be brimming with tears. This is not emotional crying, but instead it is the act of the eyes producing tears to lubricate the eyes. In fact there are three types of tears: basal, reflex and emotional, which all occur for different reasons.

Basal tears are released regularly to keep your eyes lubricated. Reflex tears are those produced when irritants bother our eyes. Emotional tears are produced in the grip of extreme emotions: sadness, anger, and sometimes even laughter. Furthermore, we tend to produce emotional tears when we get injured, and some researchers suggest that the body doesn’t really differentiate between emotional and physical pain, even if the mind can.

There are many theories on why people cry emotional tears. One such is that there are proteins in tears, which are the same components in certain hormones. One of the biggest of these is prolactin, present in greater levels in women than in men. Women use prolactin in large supply when they are nursing infants, and in the first few days after having a baby, breastfeeding that baby may produce very strong emotional response as prolactin levels increase massively. Women also report feeling very calm, sleeping or spaced out during the first few weeks after a baby’s birth because of the high levels of this hormone.

Not only does prolactin stimulate lactation, but it also tends to have an overall calming effect. It may be the case that prolactin, and other hormones like it are part of a mood regulation system. When we perceive physical or emotional pain, these hormones may build, and produce greater amounts of tears. Thus people cry, and this release may be calming too, helping to restore mood.

It also should be kept in mind that crying is the natural province of the infant. Babies come into this world and most immediately begin crying (though they don't always produce tears immediately), and they will use this communication device pre-language development to communicate all their desires. But, studies also show that boy’s cries may be ignored for slightly longer, and especially in certain cultures, girl’s cries are attended to immediately. From birth we may be taught there are immediate rewards for crying, or that it is of little purpose, depending on our gender.

Whether or not people cry as adults may have much to do with the way their society treats tears. In many societies, tears in men are only acceptable at a few occasions, perhaps a funeral. This is unfortunate indeed; especially when boy children are told not to cry regularly, and many men have felt cut off from expressing emotions of grief that could help them heal from emotional wounds. Instead anger becomes the preferred emotion because it is more “male,” and men may need to work very long and hard to access the grief behind anger.

Women, conversely, may cry more easily not simply because they release more prolactin, but because conventionally, their society accepts their crying. When people cry, especially women, they may be viewed as “emotional” as though this is a negative characteristic. On the other hand, most therapists will point out that crying is likely to be a great way to release an emotional response and restore the mind to a quieter place. The man who bottles his emotions may ultimately be more negatively emotional than the woman who lets her emotions out in the release of crying.

Despite these theories, no single answer exists as to why people cry from emotional and physical pain. Having the tear ducts well up with unshed tears is much more easily explained when something is bothering your eyes. There is suggestion though that there are both nature/nurture reasons for why people cry. Women may have more prolactin, but in some cultures men can be found weeping and sobbing just as openly as women. There may be evolutionary, cultural and physiological components all combined to explain our tears. What is understood is that crying, especially in periods of grief or strong emotion, is often emotionally beneficial, as long as the person does not feel guilty for having displayed such emotion.

Tuesday, 7 August 2012

Si Pulau Kecil


"Si Pulau Kecil"

Asal Mula Pulau lingga

W.P. Groeneveledt dalam bukunya yang berjudul History Notes on Indonesian and Malay, menyebutkan bahwa nama Lingga berasal dari kata Ling yang berarti Naga dan Ge yang berarti Gigi, tidak jauh berbeda dengan nama yang diberikan oleh para perantau Cina. Menurut para perantau Cina, sebelum mereka sampai di Daik, mereka melihat sebuah gunung (gunung Daik) yang bentuk puncaknya seperti Gigi Naga atau Tanduk Naga yang bercabang dua,(konon, dahulu bercabang tiga) yang mereka sebut Lengge. Istilah Lingga juga terkait dalam pengertian keagamaan agama Hindu, dikarenakan gunung Daik bercabang tiga, dan salah satu puncak gunung menyerupai perlambang phallus, puncak tertinggi dinamakan gunung Daik, terendah disebut gunung Cindai dan puncak yang tengah disebut gunung pejantan. 

Jauh sebelum Daik Lingga dijadikan pusat Kerajaan Johor-Riau oleh Sultan Mahmud Syah lll / Yang dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl dan pusat Kerajaan Riau Lingga oleh Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah /Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVll yang juga merupakan Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke l setelah Kerajaan Johor-Riau dipecah menjadi dua yaitu Kerajaan johor dan Kerajaan Riau Lingga pada tahun 1824, pada mulanya daerah Lingga dan sekitarnya didiami oleh Orang Suku Laut, dengan dipimpin oleh kepala sukunya yang disebut Batin. Kemudian pada akhir abad ke-18 datang Datuk Mata Kuning yang merupakan putra dari Datuk Mata Merah yang berasal dari Pangkalan Lama Jambi datang ke Lingga.

Selama beberapa tahun Datuk Mata Kuning Memegang kekuasaan di wilayah Lingga dengan gelar Datuk Megat Kuning. Pada tahun 1787, Sultan Mahmud Syah lll /Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl memindahkan pusat Kerajaan Johor-Riau dari Hulu Riau Bintan dengan membawa sebanyak 200 kapal perahu layar pindah ke Daik Lingga dan tempat kedudukan Yamtuan Muda juga dipindahkan dari Hulu Riau Bintan ke pulau Penyengat pada tahun yang sama. Sejak saat itu Datuk Megat Kuning menyatakan sebagai hamba Sultan mahmud Syah lll, kemudian Datuk Megat Kuning diangkat menjadi Orang Kaya Temenggung yang bertugas menjaga keamanan perairan Lingga dan bertempat tinggal di pulau Mepar, di pulau Mepar dibangun benteng lengkap dengan meriam-meriam sebagai salah satu benteng pertahanan Kerajaan. Sebelum itu Datuk Kaya Temenggung tinggal di Semarong Daik (Mentok) dan kemudian pindah ke Kopet Daik (Melukap) baru setelah itu pindah ke pulau Mepar dan menetap disana. 

Sepenggal Sejarah

Daik, dahulunya hampir selama seratus tahun menjadi pusat kerajaan Riau-Lingga, sekarang menjadi ibu kota Kecamatan Lingga, Kabupaten Kepulauan Riau.
Kota Daik yang terletak di sungai Daik, hanya dapat dilalui perahu atau kapal motor di waktu air pasang. Kalau air surut, sungai Daik mengering dan tak dapat dilalui. Perhubungan lainnya adalah melalui jalan darat ke desa Resun di sungai Resun. Dari sana melalui sungai itu terus ke muara (Pancur) yang terletak di pantai utara pulau Lingga, berseberangan dengan Senayang.
Selama seratus tahun Daik menjadi pusat kerajaan, tentulah terdapat berbagai peninggalan sejarah dan sebagainya. Raja-raja kerajaan Riau-Lingga yang memerintah kerajaan selama periode pusat kerajaan di Daik Lingga yaitu : Sultan Abdurakhman Syah (1812-1832), Sultan Muhammad Syah (1832-1841), Sultan Mahmud Muzafar Syah (1841-1857), Sultan Sulalman Badrul Alam Syah II (1857-1883) dan Sultan Abdurrakhman Muazzam Syah (1883-1911).

Wisata Alam

Wisata Alam Lingga sungguh menakjubkan. Semua dimensi alam tercakup di daerah ini. Sungai, laut, gunung, semua dimiliki oleh Daik Lingga, sebuah kabupaten baru yang terbentuk di tahun 2003. Pariwisata Lingga ini mulai dikembangkan dan dipromosikan ke luar daerah untuk menarik pengunjung berwisata di negeri Lingga Bunda Tanah Melayu ini. Berbagai upaya dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk mengembangkan tujuan wisatanya. Bukan hanya wisata alam, tetapi juga wisata sejarah, wisata religius maupun wisata seni dan budaya terus dikembangkan. Negeri yang menjadi pusat Kerajaan Riau Lingga ini semakin berbenah, semakin sumringah.
Banyak yang tidak tahu bahwa alam negeri Lingga sangatlah menakjubkan. Ketidaktahuan ini biarlah menjadi kisah masa lalu, dan sekarang pariwisata Lingga patutlah dan harus menjadi buah bibir bagi masyarakat Riau, masyarakat Indonesia sekaligus pembicaran dan lokasi yang wajib didatangi oleh wisatawan mancanegara. Untuk mencapai Daik, Dapat dicapai melalui Tanjung Pinang maupun Batam yang dilanjutkan dengan menggunakan speedboat selama 3-4 jam menuju Daik. Akomodasi penginapan umumnya dari hotel kelas Melati dengan biaya yang cukup murah.
Beberapa wisata alam di negeri Lingga sangat berhubungan dengan air, walau tak terlepas dengan wisata alam jenis lainnya. Laut, pantai, sungai, air terjun yang dimiliki negeri Lingga menjadi suatu hadiah yang terbesar dari Tuhan kepada daerah ini.
Jika angin berhembus perlahan, akan sangat mengasyikan untuk berwisata mancing di sekitar 531 pulau-pulau yang dimiliki Kabupaten Lingga. Laut yang jernih dengan jenis ikan yang masih banyak membuat tangan pemancing tak bisa diam untuk terus melempar joran ke tengah laut.

Gunung Daik

Bila Anda berkunjung ke Provinsi Kepulauan Riau, sempatkanlah bertamasya ke Kabupaten Lingga. Sebab, selain menyimpan situs-situs dan benda-benda bersejarah yang berusia ratusan tahun, kabupaten yang dijuluki Bunda Tanah Melayu ini juga memiliki berbagai destinasi wisata alam yang membuat para turis berdecak kagum tatkala melihatnya. Salah satunya adalah Gunung Daik.

Menyebut Gunung Daik, seseorang akan terkenang dengan sebuah pantun yang sangat familiar, terutama pada masyarakat rumpun Melayu: Pulau Pandan jauh di tengah/ Gunung Daik bercabang tiga/ Hancur badan dikandung tanah/ Budi baik dikenang juga.Ketiga cabang gunung ini memiliki nama sendiri-sendiri, cabang gunung yang paling tinggi disebut Gunung Daik, yang menengah dinamakan Gunung Pejantan atau Gunung Pinjam-pinjaman, dan yang paling rendah dinamakan Gunung Cindai Menangis.

Masyarakat setempat mempercayai, puncak Gunung Daik dihuni oleh mahkluk halus bernama bunian. Sedangkan para nelayan yang berada di sekitar gunung itu meyakini bahwa arwah nenek moyang mereka, yakni Datuk Kemuning dan istrinya, bersemayam di gunung tersebut.

Puncak, Mirip Gigi NagaKonon, nama Lingga yang berasal dari akar kata Ling (naga) dan Ge (gigi), terilhami oleh bentuk puncak Gunung Daik yang mirip dengan gigi naga.
Keberadaan gunung ini kian populer berkat sebuah pabrik sagu dari kabupaten tersebut yang menjadikan Gunung Daik sebagai merek dagangnya, yaitu Sagu Cap Gunung Daik.

Merek tersebut merupakan jaminan sagu berkualitas, yang dari dahulu hingga sekarang banyak dikirim ke berbagai daerah, seperti Cirebon, Surabaya, dan kota-kota lainnya. Melalui merek tersebut, perlahan-lahan Gunung Daik ikut dikenal oleh masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia.

Penuh mistis, tapi eksotis. Menakutkan, namun memesona. Begitulah kira-kira kesan pelancong ketika mengunjungi Gunung Daik, gunung tertinggi di Provinsi Kepulauan Riau, yang memiliki ketinggian sekitar 1.165 meter di atas permukaan laut (mdpl). Meskipun rute menuju gunung tersebut penuh tantangan, namun semuanya akan terbayarkan begitu memasuki kawasan hutannya yang berhawa sejuk. Kontur medan yang beragam dengan jalan setapak yang berliku-liku, mengakomodir keinginan wisatawan yang menyukai olahraga lintas alam, menyusuri lembah, memotret, berkemah, dan off road. 


Gunung Daik
 
Pemandangan Gunung Daik Dari Kota Daik

Konon Gunung ini bercabang Tiga





















Ke Lingga
untuk pergi ke lingga ada beberapa alternatif, bisa mealalui jalur laut maupun udara
kunjungi link ini untuk lebih jelasnya :



07 Agustus 2012

Rings